3. Keraton Caruban Larang
Caruban Larang merupakan lalu lintas perniagaan “
mancanegara” pada masanya. Awalnya sebuah desa nelayan kecil bernama Dukuh
Pasambangan terletak sekitar lima Kilometer
sebelah utara Kota Cirebon Sekarang, selanjutnya desa ini berkembang
menjadi kota
Pelabuhan yang ramai bernama Caruban Larang. Berdasarkan tutur tradisi Cirebon diyakini bahwa
Caruban Larang didirikan pada 1 Muharam tahun Alip 1302 Jawa atau 1389 Masehi.
Titimangsa tersebut untuk sementara ditetapkan sebagai Hari Jadi Kota Cirebon.
Muara Jati (sekarang alas konda) adalah nama pelabuhannya,
di sana yaitu di puncak Gunung Amparan Jati didirikan Mercusuar oleh Laksamana
Cheng Ho untuk memandu kapal-kapal yang hendak berlabuh di Muara Jati, sehingga
pelabuhan Muara Jati menjadi ramai disinggahi kapal dan perahu
dagang dari berbagai penjuru bumi antara lain Arab, Persi, India, Malaka,
Tumasik (singapura), Paseh, Wangkang (Cina), Demak, Jawa Wetan, Madura,
Palembang, maupun Bugis.
Kemenangan Raden Pamanah Rasa dalam sayembara adu jurit
serta memenuhi persyaratan yang diajukan oleh Syekh Quro, maka Raden Pamanah
Rasa atau Pangeran Jayadewata berhak menikahi Nyai Mas Subang Larang atau
Subang Karancang. Dapat dipastikan bahwa untuk selanjutnya Nyai Subang Larang
diboyong ke Keraton Galuh Surawisesa, karena pada masa itu Pamanah Rasa belum
menjadi Raja Pajajaran, bahkan Ningrat Kancana ayahnya belum lagi dilantik
menjadi raja di Galuh. Dari perkawinannya mereka dikarumai tiga orang anak
yaitu Raden Walangsungsang yang lahir pada tahun 1423 M, Nyai Lara atau Rara
Santang lahir pada tahun 1426 M, dan Raja Sengara lahir pada tahun 1428 M. Pada
tahun 1441 M Nyai Subang Larang jatuh sakit hingga meninggal dunia. Semenjak
kematian ibunya, ketiga kakak beradik mendapat perlakuan yang kurang
menyenangkan dari saudara-saudara lain ibu (Atja 1986:32). Hal tersebut membuat
gerah Raden Walangsungsang, hingga setahun kemudian (1442 M) ia keluar dari
keraton melintasi hutan belantara.
Dalam tradisi masyarakat Cirebon , antara lain tercatat
dalam Babad Klayan (Hadisutjipto 1989; Arismunandar dan Pudjiastuti
1996:224), digambarkan perjalanan yang dilaluinya begitu berat, tak berapa lama
ia sampai di Gunung Merapi. Di situ berdiam seorang pandita penganut aliran
Budhaprawa (Syiwa Buddha) yang sangat luhung bernama Sang Hyang Danuwarsih.
Sang Hyang Danuwarsih adalah putra dari Sang Danusetra, pendeta agung di
Pegunungan Dieng. Setelah berdiam cukup lama, Walangsungsang diberi berbagai
benda pusaka (Rais 1986:18-19), serta dinikahkan dengan putri Sang Pendeta yang
bernama Nyai Indang Geulis atau Nyai Indang Ayu yang diam-diam telah lama
menaruh hati pada putra Prabhu Siliwangi tersebut (Rais 1986:15; Atja 1986:32).
Benda-benda pusaka yang dianugerahkan Sang Hyang Danuwarsih
kepada Walangsungsang adalah sebuah cincin yang bernama Ali-ali Ampal. Cincin
ini berkhasiat dapat melihat barang gaib, dapat menyimpan berbagai macam benda,
serta bisa mengabulkan apa saja yang dikehendaki. Baju Kemayan, baju ini
memiliki kelebihan, barangsiapa yang memakainya tak terlihat oleh orang lain.
Selain itu, baju ini menjauhkan si pemakai dari maksud-maksud jahat. Di atas baju
tersebut terdapat gambar kembang daun tulisan Arab berbunyi, “Barang siapa
takut kepada Allah, maka Allah akan membuka jalan keluar dari
kesulitan-kesulitan dan akan memberikan rezeki kepadanya yang tidak diduga-duga
dan dengan tidak berjerih payah lagi”. Baju Pengabaran, memiliki khasiat, jika
dipakai akan menimbulkan keberanian yang tiada terkira dalam menghadapi musuh,
terlepas kuat atau lemahnya lawan, bahkan bukan hanya bangsa manusia atau
hewan, bangsa jin dan setan pun akan tunduk. Pada baju tersebut tertulis,
“Berbaktilah kepada Tuhanmu hingga ajalmu datang”. Baju Pengasihan, baju ini
berkhasiat, siapa pun yang memakainya akan dikasihi oleh orang banyak. Tertulis
di baju tersebut, “Sesungguhnya Allah suka kepada orang-orang yang takwa
kepada-Nya”. (M Rais 1986:18-19).
Sementara itu, tanpa sepengetahuan orang tua, Nyai Rara
Santang menyusul kakandanya. Setelah sekian lama ia berjalan tanpa
memperdulikan keselamatan jiwa dan raganya, tibalah ia di Gunung Tangkuban
Perahu. Di tempat itu ia bertemu dengan Nyai Indang Sukati. Kepada wanita tua
itu, ia menceritakan maksud dan tujuan perjalanannya. Nyai Indang Sukati
memberi petunjuk agar hal tersebut ditanyakan kepada Ki Ajar Sakti di
Argaliwung. Sebelum Nyai Rara Santang melanjutkan perjalanan, Nyai Indang
Sukati memberinya sebuah baju azimat bernama Baju Hawa Mulia. Baju Hawa Mulia
ini memiliki kekuatan: pemakainya dapat melayang di atas tanah, berjalan di
atas air, dan tak terbakar api (Rais 1986:16). Tiada berapa lama, ia bertemu
dengan Ki Ajar Sakti yang memberikan petunjuk jika ingin menemukan Raden
Walangsungsang hendaklah ia menuju arah timur-selatan, ia akan menemukan Sang
Kakak di Gunung Merapi.
Tanpa terasa tibalah Nyai Rara Santang di tempat yang
dituju, tempat kakaknya berada, kedatangannya diterima dengan baik oleh Raden
Walangsungsang, Sang Hyang Danuwarsih memberi saran agar untuk sementara
tinggal di situ. Selanjutnya Sang Hyang Danuwarsih menyarankan agar ke dua
putra-putri Prabhu Siliwangi untuk meminta petunjuk kepada Sang Hyang Nago di Gunung
Kumbang. Maka berangkatlah kedua kakak-beradik ke Gunung Ciangkup disertai
istri Pangeran Walangsungsang, Nyai Indang Geulis.
Setibanya mereka di Gunung Ciangkup, mereka bertemu dengan
Sang Hyang Nago. Kepadanya Pangeran Walangsungsang menuturkan seluruh maksud
dan tujuan. Sang Hyang Nago mendengar penjelasan tersebut, lalu menerangkan
bahwa jika ingin mencari perihal agama Islam hendaknya bertanya kepada Sang
Hyang Nago di Gunung Kumbang. Sebelum tiga orang tersebut pergi, Sang Hyang
Nago memberikan berbagai ilmu, serta mewariskan sebuah senjata pusaka yang
bernama Golok Cabang. Konon, golok cabang ini dapat terbang dan berbicara
layaknya manusia (ngucap tata jalma). Ilmu yang diberikan Sang Hyang Nago
kepada Walangsungsang terdiri dari: Ilmu Kadewan, yaitu kemampuan dapat
memperteguh keyakinan seseorang dalam beragama. Ilmu Kapik’san, yaitu
ilmu yang dapat menimbulkan wibawa yang besar, serta pemiliknya akan dikasihi
segenap makhluk. Ilmu Keteguhan, yakni ilmu yang membuat pemiliknya kebal,
kuat, dan perkasa. Ilmu Pengikutan, yaitu ilmu yang dapat mempengaruhi
seluruh makhluk. Sedangkan senjata pusaka yang bernama Golok Cabang, memiliki
kekuatan apabila ia ditebaskan ke arah singa, maka singa itu akan hancur lebur.
Begitu juga gunung, laut, dan hutan atau apa pun yang terkena Golok Cabang akan
binasa (Rais 1986:20).
Sesuai petunjuk Sang Hyang Nago, berangkatlah mereka bertiga
ke Gunung Kumbang. Sesampainya mereka di sana ,
Raden Walangsungsang menyampaikan apa yang menjadi maksud dan tujuan meraka bertiga
kepada Sang Hyang Nago. Namun, seperti yang sudah-sudah, keinginan mereka untuk
memperdalam agama Islam tak bisa terlaksana. Sang Hyang Nago hanya memberi
pentunjuk agar mereka melanjutkan perjalanan ke Gunung Cangak dan menemui Ratu Bangau , ia
pun tak lupa membekali Walangsungsang dengan berbagai ilmu dan benda pusaka.
Ratu Bangau tinggal di satu pohon yang tingginya 500 m yang setiap dahan dan
rantingnya dipenuhi oleh ribuan bangau. Terjadi sedikit perlawanan dari Ratu
Bangau, namun oleh Walangsungsang akhirnya Ratu Bangau dapat ditaklukan (Rais
1986:11-20). Peristiwa perjumpaan Walangsungsang dengan Ratu Bangau diabadikan
dalam lagu Cingcing Duwur, Kajongan, Pari Anom, Rambu Gede, Rambu
Cilik, dan Bango Butak atau Rara Butak.
Lagu-lagu tersebut merupakan bagian dari tujuh lagu yang
biasa dimainkan dengan Gamelan Sekaten dan diperdengarkan setiap bulan Maulud
pada saat upacara panjang jimat. Menurut Raden Sangkaningrat (bagian seni
gamelan Keraton Kanoman), ada enam lagu yang dimainkan menjelang upacara
Panjang Jimat, dan merupakan lagu-lagu perjuangan yang menggambarkan perjuangan
prajurit-prajurit Cirebon menghadapi Ratu Bangau yang belum mau masuk Islam
dari Gunung Cangak atau Gunung Srandil. Lagu-lagu itu terdiri dari: Lagu
Sekaten, lagu ini menempati urutan pertama dalam rangkaian lagu-lagu Sekatenan,
karena Sekaten berasal dari kata ‘syahadatain’. Durasi lagu ini mencapai 1 jam.
Jumlah pukulan gong besar harus tepat 100 kali, yang bermakna jumlah dzikir 100
kali. Lagu Cingcing Duwur, lagu ini mengingatkan pada para pendengarnya, bahwa
peristiwa tersebut berlangsung di atas tanah yang becek, sehingga memaksa para
prajurit mengangkat (nyingcing) kainnya tinggi-tinggi (duwur). Lagu Kajongan,
Kajongan artinya melompat, diceritakan kondisi tanah yang becek serta banyak
terdapat saluran air, mengakibatkan para prajurit berjalan melompat-lompat.
Lagu Pari Anom. Pari Anom artinya padi muda, kala peristiwa itu terjadi
sebagian sawah di sekitar tempat itu sudah mulai berbuah. Lagu Rambu Gede dan
Rambu Cilik. Ke dua lagu ini mengisahkan waktu Ratu Bangau tertangkap, prajurit
Cirebon
mengerubutinya ramai-ramai. Sebagian dari mereka mencengkramnya, dengan
cengkraman besar ataupun kecil. Lagu Bangau Butak atau Rara Butak. Lagu ini
diilhami dari kejadian setelah kekalahan Ratu
Bangau , ia tertangkap
dengan rambut terjambak. Jambakan itu mungkin demikian kerasnya hingga ia
merasa kesakitan (rara), bahkan akibat Jambakan itu kepala Ratu Bangau menjadi
botak. Lagu ini mendapat tempat khusus dalam penyajiannya. Ia muncul lima kali dari seminggu,
selama penyajian lagu-lagu Sekatenan. Adapun rincian waktunya sebagai berikut:
Pertama, pukul 21.00 pada hari pertama. Kedua, pukul 24.00 hari pertama.
Ketiga, pada tanggal 11 Maulud malam 12 Maulud, pukul 21.00 tepat di saat keluarnya
rombongan panjang jimat dari pintu Si Blawong. Keempat, pukul 24.00 pada malam
yang sama. Kelima, pada hari penutupan tanggal 12 Maulud sore hari pukul
16.00).
Setelah Ratu Bangau mengaku takluk, ia pun memberi petunjuk
yang diharapkan Walangsungsang, bahwa apabila ia ingin mencari agama Islam,
pergilah menuju ke Gunung Jati. Selain dari itu ia pun membekali dengan
benda-benda pusaka (Rais 1986:21-22). Adapun pusaka-pusaka yang diberikan oleh
Ratu Bangau adalah Panjang Zimat, Pendil Sewu, dan Bareng. Setelah sekitar tiga
tahun belajar pada Syekh Datul Kafi di daerah Amparan Jati, Raden
Walangsungsang bersama isteri dan adiknya, Nyai Lara Santang dianggap telah
selesai mempelajari agama Islam. Oleh gurunya Raden Walangsungsang diberi nama
Ki Somadullah. Mereka kemudian dianjurkan untuk mendirikan pedukuhan di Kebon
Pesisir (sekarang Lemahwungkuk) yang pada waktu itu disebut dengan Tegal
Alang-alang. Pedukuhan tersebut dipimpin oleh Ki Gedeng Danusela yang bergelar
Ki Gedeng Alang-alang.
Sekitar lima
tahun kemudian, datanglah Ki Somadullah atau Raden Walangsungsang dari puncak
Amparan Jati bersama istri, dan adik perempuannya. Setibanya di Kebon Pesisir , ia
kemudian diberi gelar Pangeran Cakrabuwana. Dikisahkan, bila malam dua pasangan
suami istri, yakni Ki Gedeng Alang-alang beserta istri dan Ki Somadullah
beserta istri, bekerja mencari rebon (udang kecil) dan ikan di sungai yang ada
di sebelah timur rumahnya dan di pinggir pantai. Rebon dan ikan itu dipakai
sebagai bahan untuk membuat terasi dan petis. Konon, terasi dan petis yang
dihasilkan Ki Somadullah dikenal enak, dan semakin hari pembeli yang datang ke
Dukuh Lemah Wungkuk untuk membeli barang itu bertambah banyak. Para pendatang bukan hanya dari daerah sekitar seperti
Desa Pesambangan dan Muarajati, tetapi juga dari wilayah Sunda, bahkan dari
negeri Arab dan Cina. Lama kelamaan mereka tidak sekedar membeli terasi dan
petis, tetapi menetap di daerah ini; dan bahkan para pendatang ini ikut membuat
terasi dan petis. Pada akhirnya, Dukuh Lemah Wungkuk sejak tanggal 14
paro-peteng bulan cetra 1367 Saka (1445/1446 M), disebut Dukuh Carbon, yang
berasal dari kata ‘cai’ dan ‘rebon’.
Dari cerita yang beredar di masyarakat, disebutkan Ki Gedeng
Alang-alang terpilih menjadi Kuwu Caruban yang pertama, sedangkan Ki Somadullah
menjadi Pangraksabumi (wakil kuwu) dengan gelar Ki Cakrabumi. Pada tahun 1450 M
Ki Somadullah mengerahkan orang-orang untuk bersama-sama mendirikan tajug
(musholla) di daerah Jelagrahan dan membuat gubuk di sekitarnya. Pendirian
tajug dan dibukanya perkampungan (sekarang menjadi Keraton Kanoman) tersebut
merupakan salah satu tanda perkembangan Islam di Cirebon. Perkampungan ini pada
saatnya menjadi cikal-bakal bagi kota Cirebon .
Sejak saat itu Pangeran Walangsungsang giat menyiarkan agama
Islam di sekitar daerah Cirebon , sedangkan untuk
daerah di luar Cirebon
masih belum terjamah. Hal itu, disebabkan pada waktu itu Cirebon masih berada di bawah kekuasaan
Kerajaan Sunda, yang hampir sebagian masyarakatnya masih beragama Hindu dan
Budha. la mendiami rumah dekat tajug Jelagrahan sambil mengajar agama Islam
kepada penduduk. Dengan meningkatnya jumlah penduduk Cirebon serta semakin
banyaknya kaum muslimin dari luar Ckebon yang ingin memperdalam agama Islam,
kondisi Jalagrahan tidak dapat lagi menampung umat Islam dalam menjalankan
berbagai kegiatan keagamaan di Cirebon, ttiaka perlu didirikan masjid baru
dengan ukuran yang lebih besar. Untuk itulah dibangunlah masjid baru yang
dinamakan Masjid Agung Ciptarasa. Masjid ini merupakan masjid resmi Kesultanan
Cirebon. Menurut keterangan, masjid ini didirikan oleh Wali Sanga dan
pembangunannya dipimpin oleh ahli bangunan dari Majapahit yang bernama Raden
Sepat. Salah satu tiang masjid ini disebut “Saka Tatal” karena terbuat dari
susunan ‘tatal’ (potongan-potongan kayu).
Ketika Ki Gedeng Alang-alang meninggal, atas persetujuan
rakyat setempat, Ki Somadullah diangkat menjadi Kuwu Dukuh Lemah Wungkuk
menggantikan mertuanya dengan gelar Pangeran Cakrabuana. Beliau menjalankan
industri rumah tangga yaitu membuat terasi dan petis. Pada saat Ki Somadullah
menjabat sebagai Kuwu Caruban II keadaan daerah ini semakin ramai. Selanjutnya
oleh Pangeran Cakrabuana, Caruban ditingkatkan menjadi sebuah negeri dengan
sebutan Caruban Larang. la juga membentuk laskar yang mengawal keamanan wilayah
dengan segala kelengkapannya. Setelah mengambil harta peninggalan Ki Gedeng
Tapa dari Kerajaan Singapura (± 4 km, sebelah utara makam Sunan Gunung Jati),
Pangeran Cakrabuana mendirikan bangunan baru berupa istana yang diberi nama Keraton
Pakungwati pada tahun 1452 M. Dengan dibangunnya Keraton Pakungwati ini,
menandakan bahwa Cirebon sudah mulai berfungsi sebagai pusat pemerintahan
lokal.
Menjelang timbulnya kekuasaan politik Islam Cirebon,
kedudukan Ckebon masih berada di bawah Tohaan di Galuh (1475-1482). Baru
setelah itu, Cirebon dipegang oleh Sunan Gunung Jati dan dapat melepaskan diri
dari kekuasaan Kerajaan Galuh Sunda Pakuan Pajajaran yang pada waktu itu
rajanya adalah Sang Ratu Jayadewata atau Sri Baduga Maharaja atau lebih dikenal
dengan sebutan Prabhu Siliwangi (1482-1521). Mulai saat itu, Ckebon merupakan
sebuah Kerajaan Islam yang berdaulat dan tidak lagi di bawah kekuasaan manapun.
Pada saat ini, Ckebon sudah melepaskan diri dari kekuasaan Kerajaan Sunda.
Eksistensi Cirebon yang semakin kuat dengan berkembangnya
agama Islam pada akhirnya berbenturan dengan kedaulatan Kerajaan Galuh. Satu
demi satu daerah kekuasaan Galuh seperti Palimanan, Cangkuang, Luragung
(Kuningan), Rajagaluh dan Talaga (Majalengka), dan Cimanuk (Indramayu)
ditaklukkan oleh Kerajaan Islam Cirebon.